Terminologi dan Periodisasi
Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.
Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).
Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.
Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.
Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.
Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).
Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.
Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.
Eropa pada zaman wangsa Karoling
Kerajaan Franka di kawasan utara Galia terpecah menjadi Kerajaan Austrasia, Kerajaan Neustria, dan Kerajaan Burgundia pada abad ke-6 dan abad ke-7, ketiga-tiganya diperintah oleh raja-raja dari wangsa Meroving, anak cucu Raja Klovis. Abad ke-7 adalah kurun waktu yang dipenuhi gejolak peperangan antara Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria.[94] Perang antara kedua kerajaan ini dimanfaatkan oleh Pipin (wafat 640), Pembesar Istana Kerajaan Austrasia yang merupakan orang kuat di belakang penguasa Austrasia. Anggota-anggota keluarganya kemudian hari mewarisi jabatan ini, dan bertugas selaku penasihat dan wali raja. Cicit Pipin yang bernama Karel Martel (wafat 741) memenangkan Pertempuran Poitiers pada 732, yang menghambat pergerakan bala tentara Muslim sehingga tidak melampaui batas Pegunungan Pirenia.[95][J] Wilayah Britania Raya terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil yang dikuasai oleh Kerajaan Northumbria, Kerajaan Mercia, Kerajaan Wessex, dan Kerajaan Anglia Timur, yang didirikan oleh orang-orang Saksen-Inggris dari Eropa Daratan. Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di wilayah yang kini disebut Wales dan Skotlandia masih dikuasai oleh suku-suku pribumi, yakni orang Britani dan orang Pikti.[97] Wilayah Irlandia terbagi-bagi menjadi satuan-satuan politik yang lebih kecil lagi dan diperintah oleh raja-raja. Satuan-satuan politik di Irlandia ini dikenal dengan sebutan kerajaan-kerajaan kesukuan. Diperkirakan kala itu ada 150 raja pribumi di Irlandia, dengan bobot kekuasaan yang berbeda-beda.[98]
Keturunan Karel Martel, yakni wangsa Karoling, mengambil alih pemerintahan Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria melalui suatu usaha kudeta pada 753 yang dipimpin oleh Pipin III (memerintah 752–768). Menurut keterangan dari sebuah naskah tawarikh yang ditulis pada masa itu, Pipin meminta dan mendapatkan wewenang untuk melakukan kudeta dari Paus Stefanus II (menjabat 752–757). Kudeta yang dilakukan Pipin disokong dengan kegiatan propaganda yang mencitrakan raja-raja wangsa Meroving sebagai penguasa-penguasa yang tidak cakap memerintah bahkan lalim, menggembar-gemborkan segala prestasi yang pernah diraih oleh Karel Martel, dan menyebarluaskan kisah-kisah tentang betapa salehnya keluarga Pipin. Di akhir hayatnya pada 768, Pipin mewariskan kerajaannya kepada kedua putranya, Karel (memerintah 768–814) dan Karloman (memerintah 768–771). Ketika Karloman mangkat secara wajar, Karel menghalangi penobatan putra Karloman yang masih belia, dan malah menobatkan dirinya sendiri menjadi raja atas wilayah gabungan Austrasia dan Neustria. Karel, yang lebih dikenal dengan nama Karel Agung (bahasa Latin: Carolus Magnus, bahasa Prancis: Charlemagne), melancarkan serangkaian upaya sistematis untuk meluaskan wilayah pada 774 dengan mempersatukan sebagian besar negeri di Eropa, dan pada akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah yang kini menjadi wilayah negara Prancis, kawasan utara Italia, dan wilayah Sachsen. Dalam perang yang baru berakhir selepas tahun 800 ini, Karel Agung mengganjari sekutu-sekutunya dengan harta pampasan perang dan kekuasaan atas berbidang-bidang tanah lungguh.[100] Pada 774, Karel Agung menaklukkan orang Lombardi, sehingga lembaga kepausan terbebas dari ancaman penaklukan oleh orang Lombardi dan mulai mendirikan Negara Gereja.[101][K]
Penobatan Karel Agung menjadi kaisar pada hari Natal tahun 800 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Abad Pertengahan. Penobatan ini menandai kebangkitan kembali Kekaisaran Romawi Barat, karena kaisar yang baru ini memerintah atas sebagian besar wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh para Kaisar Romawi Barat.[103] Penobatan ini juga menjadi awal perubahan sifat hubungan antara Karel Agung dan kekaisaran Romawi Timur, karena dengan menyandang gelar kaisar, raja-raja wangsa Karoling menyatakan diri setara dengan para penguasa Romawi Timur.[104] Kekaisaran Karoling yang baru berdiri ini memiliki sejumlah perbedaan dengan Kekaisaran Romawi lama maupun dengan Kekaisaran Romawi Timur kala itu. Wilayah kedaulatan orang Franka bercorak pedesaan dan hanya memiliki beberapa kota kecil. Rata-rata warganya adalah petani yang menetap di lahan-lahan kecil. Kegiatan dagang hanya berskala kecil, dan sebagian besar dilakukan dengan kepulauan Inggris dan Skandinavia, jauh berbeda dari jaringan niaga Kekaisaran Romawi lama yang berpusat di Laut Tengah.[103] Pemerintahan Kekaisaran Karoling diselenggarakan oleh suatu majelis keliling yang senantiasa berpindah-pindah mengikuti perjalanan jelajah kaisar, serta kurang lebih 300 pegawai kekaisaran yang disebut bupati (bahasa Latin: comes, bahasa Prancis: comte, bahasa Jerman: graf), yang menyelenggarakan pemerintahan kabupaten (bahasa Latin: comitatus, bahasa Prancis: comitat, bahasa Jerman: grafschaft), yakni satuan wilayah pemerintahan di Kekaisaran Karoling. Rohaniwan dan uskup-uskup setempat dikaryakan sebagai pamong praja maupun pegawai kekaisaran yang disebut para missi dominici. Para missi dominici bekerja sebagai penilik keliling dan petugas penanggulangan masalah.[105]
Perang, bencana kelaparan, dan wabah penyakit
Tahun-tahun permulaan abad ke-14 ditandai oleh bencana-bencana kelaparan, yang memuncak pada Bencana Kelaparan Besar 1315–1317.[258] Salah satu penyebab Bencana Kelaparan Besar ini adalah transisi peralihan yang berlangsung lambat dari Periode Suhu Hangat Abad Pertengahan ke Zaman Es Kecil, sehingga masyarakat rentan tertimpa bencana kelaparan bilamana cuaca memburuk dan mengakibatkan gagal panen.[259] Kurun waktu 1313–1314 dan 1317–1321 adalah kurun waktu turunnya hujan deras di seluruh Eropa, yang mengakibatkan gagal panen di mana-mana.[260] Perubahan iklim—yang mengakibatkan penurunan suhu tahunan rata-rata di Eropa pada abad ke-14—terjadi bersamaan dengan merosotnya perekonomian.[261]
Segala kemelut ini disusul pada 1347 oleh malapetaka Maut Hitam, wabah penyakit menular yang berjangkit ke seluruh pelosok Eropa dalam tiga tahun berikutnya.[262][AB] Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 35 juta jiwa di Eropa, yakni sekitar sepertiga dari keseluruhan populasi Eropa. Dampak dari wabah ini lebih terasa di kota-kota karena tingkat kepadatan penduduknya yang lebih tinggi.[AC] Kelangkaan populasi mengakibatkan tanah-tanah yang luas hanya didiami segelintir orang, dan ladang-ladang menjadi terbengkalai di beberapa tempat. Upah meningkat karena para tuan tanah berusaha memikat tenaga kerja yang sudah menyusut jumlahnya itu agar bersedia menggarap lahan-lahan mereka. Masalah selanjutnya adalah menurunnya sewa tanah dan merosotnya permintaan akan bahan pangan, yang memangkas jumlah pendapatan dari sektor pertanian. Kaum buruh di kota-kota juga mulai merasa patut diberi upah yang lebih besar, dan pemberontakan rakyat merebak di seluruh Eropa,[265] antara lain pemberontakan jacquerie di Prancis, pemberontakan kaum tani di Inggris, pemberontakan di kota Firenze di Italia, serta pemberontakan di kota Gent dan kota Brugge di Flandria. Trauma yang ditimbulkan oleh wabah ini menyebabkan kesalehan masyarakat meningkat di seluruh Eropa, yang diwujudkan melalui pembentukan lembaga-lembaga amal yang baru, praktik bermatiraga kaum Flagelan, dan tindakan mengambinghitamkan umat Yahudi.[266] Keadaan kian runyam ketika Maut Hitam kembali berjangkit sepanjang sisa kurun waktu abad ke-14; wabah ini masih terus menghantam Eropa secara berkala sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[262]
Arsitektur, seni rupa, dan seni musik
Pada abad ke-10, pembangunan gedung-gedung gereja dan biara mendorong munculnya arsitektur bangunan batu yang merupakan hasil pengembangan lebih lanjut terhadap bentuk-bentuk bangunan batu ala Romawi, sehingga dinamakan langgam arsitektur "Romanik". Jika kebetulan ada, gedung-gedung bata dan batu peninggalan Romawi dibongkar agar material bangunannya dapat digunakan kembali dalam pembangunan gedung-gedung baru. Bermula dari tahap coba-coba permulaan yang dikenal dengan sebutan Romanik Perdana, langgam arsitektur berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa dalam bentuk yang seragam. Tepat sebelum tahun 1000, terjadi gelombang besar pembangunan gedung-gedung gereja batu di seluruh Eropa.[239] Gedung-gedung berlanggam Romanik memiliki dinding yang tersusun dari batu-batu berukuran raksasa, lubang-lubang pintu dan jendela dengan ambang yang melengkung membentuk setengah lingkaran, tingkap-tingkap berukuran kecil, dan (khususnya di Prancis) lengkungan langit-langit dari susunan batu.[240] Pintu-pintu masuk berukuran besar berbingkai pahatan relief tinggi yang diwarnai menjadi salah satu tampilan utama pada muka bangunan (façade), teristimewa di Prancis. Ganja-ganja tiangnya sering kali dihiasi ukiran monster-monster dan satwa-satwa khayali.[241] Menurut sejarawan seni rupa, C. R. Dodwell, "nyaris semua gedung gereja di Dunia Barat dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding", hanya sedikit di antaranya yang masih ada sampai sekarang.[242] Bersamaan dengan perkembangan di bidang arsitektur gedung gereja, bentuk bangunan puri yang khas Eropa juga dikembangkan, dan menjadi sangat penting artinya bagi percaturan politik dan peperangan.[243]
Seni rupa langgam Romanik, khususnya di bidang kriya logam, mencapai tahap kecanggihan tertingginya dalam seni rupa langgam Maas, yang memunculkan seniman-seniman dengan ciri khas tersendiri, antara lain Nikolaus dari Verdun (wafat 1205), dan menghasilkan karya-karya seni yang nyaris tampak berlanggam klasik seperti bejana baptis di Liège,[244] jauh berbeda dari sosok-sosok hewan menggeliat pada Kandil Gloucester yang juga dibuat pada kurun waktu yang sama. Alkitab dan buku Mazmur beriluminasi berukuran besar adalah naskah-naskah mewah yang lazim dibuat kala itu, dan lukisan dinding menyemarakkan gedung-gedung gereja, sering kali mengikuti kaidah yang menempatkan lukisan bertema Penghakiman Akhir pada dinding barat, Maiestas Domini pada dinding timur, dan penggambaran kisah-kisah Alkitab di sepanjang dinding pada kedua sisi panti umat, atau pada lengkungan langit-langit memanjang seperti di Saint-Savin-sur-Gartempe, yang merupakan contoh terindah dari lukisan pada lengkungan langit-langit bangunan yang masih lestari hingga sekarang.[245]
Semenjak permulaan abad ke-12, tukang-tukang bangunan Prancis mengembangkan langgam Gothik, yang bercirikan pemakaian lengkungan langit-langit berusuk, pelengkung yang mengerucut, penopang-penopang layang, dan jendela-jendela kaca patri berukuran besar. Langgam ini lebih banyak digunakan dalam pembangunan gedung-gedung gereja dan gereja katedral, serta terus-menerus digunakan sampai dengan abad ke-16 di banyak tempat di Eropa. Contoh-contoh klasik dari arsitektur berlanggam Gothik antara lain adalah gedung gereja katedral Chartres dan gedung gereja katedral Reims di Prancis, serta gedung gereja katedral Salisbury di Inggris.[246] Kaca patri menjadi unsur penting dalam rancang bangun gedung gereja, yang masih terus menggunakan lukisan-lukisan dinding, tetapi dewasa ini hampir semuanya sudah musnah.[247]
Pada kurun waktu ini, kegiatan pembuatan naskah beriluminasi beralih dari biara-biara ke sanggar-sanggar milik umat awam, sampai-sampai menurut Janetta Benton "pada tahun 1300, kebanyakan rahib membeli buku di toko-toko".[248] Pada kurun waktu ini pula buku ibadat harian dikembangkan menjadi buku panduan beribadat bagi umat awam. Kriya logam masih tetap menjadi wujud karya seni yang paling bergengsi, dan email Limoges menjadi bahan dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak sekali dipakai dalam pembuatan benda-benda seperti relikuarium dan salib..[249] Di Italia, inovasi-inovasi Cimabue dan Duccio di Buoninsegna, dan kemudian hari juga inovasi-inovasi dari maestro era Trecento, Giotto di Bondone (wafat 1337), kian mempercanggih dan mengentaskan lukisan panel dan fresko.[250] Meningkatnya kemakmuran pada abad ke-12 mendorong peningkatan produksi karya-karya seni rupa sekuler; banyak barang ukiran gading seperti peranti permainan (buah catur, dadu, dan sebagainya), sisir-sisir, dan patung-patung keagamaan berukuran kecil masih terlestarikan sampai sekarang.[251]
Reformasi biara menjadi isu penting pada abad ke-11, manakala para penguasa mulai khawatir kalau-kalau para rahib tidak mengamalkan aturan-aturan yang mewajibkan mereka untuk semata-mata menekuni kehidupan zuhud. Biara Cluny yang dibangun di daerah Mâcon, Prancis, pada tahun 909, adalah pelopor gerakan Reformasi Cluny, yakni gerakan reformasi biara berskala besar yang muncul sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran kalangan penguasa.[253] Biara Cluny dengan segera tersohor sebagai biara yang sangat bersahaja dan sangat ketat dalam menjalankan tata tertib. Biara ini berusaha menjaga mutu kehidupan rohani yang tinggi dengan berlindung kepada lembaga kepausan, dan dengan memilih sendiri kepala biaranya tanpa campur tangan umat awam, sehingga dapat terus mandiri secara ekonomi maupun politik, terhindar dari campur tangan tuan-tuan besar setempat.[254]
Reformasi biara mengilhami usaha-usaha pembaharuan Gereja di luar lingkungan biara. Cita-cita luhur yang melandasi gerakan reformasi biara dibawa ke tataran lembaga kepausan oleh Paus Leo IX (menjabat 1049–1054), dan menjadi sumber ideologi kemandirian kaum rohaniwan yang berujung pada Kontroversi Investitur pada akhir abad ke-11. Kontroversi ini melibatkan Paus Gregorius VII (menjabat 1073–1085) dan Kaisar Heinrich IV, yang mula-mula mempersengketakan kewenangan mengangkat uskup. Sengketa ini berubah menjadi pertarungan gagasan terkait investitur (pengangkatan), pernikahan kaum rohaniwan, dan simoni. Kaisar menganggap urusan melindungi Gereja sudah menjadi tanggung jawabnya, dan hendak mempertahankan haknya untuk memilih sendiri uskup-uskup yang menjabat di dalam wilayah kedaulatannya, sementara lembaga kepausan dengan gigih memperjuangkan kebebasan Gereja dari campur tangan penguasa sekuler. Isu-isu ini tidak kunjung tuntas meskipun telah dicapai kompromi pada tahun 1122 yang dikenal dengan sebutan Konkordat Worms. Sengketa ini merupakan salah satu tahap penting dalam pembentukan monarki kepausan yang terpisah sekaligus setara dengan pemerintahan-pemerintahan awam. Sengketa ini juga meninggalkan dampak permanen, yakni kian kukuhnya kekuasaan para kepala swapraja Jerman sehingga merugikan kaisar-kaisar Jerman.[253]
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya gerakan-gerakan agamawi berskala besar. Selain ikut serta dalam Perang Salib dan gerakan reformasi biara, orang juga berusaha mencari bentuk-bentuk amalan zuhud yang baru. Tarekat-tarekat baru didirikan, antara lain tarekat Sistersien dan tarekat Kartusian. Tarekat Sistersien menyebar dengan pesat pada tahun-tahun permulaan keberadaannya di bawah bimbingan Bernardus dari Clairvaux (wafat 1153). Tarekat-tarekat baru ini didirikan untuk menanggapi pandangan umat awam yang merasa cara hidup zuhud ala Benediktin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan umat awam. Sebagaimana orang-orang yang hendak menjalani hidup zuhud, umat awam juga ingin kembali pada cara hidup zuhud eremitis (cara hidup pertapa) yang diamalkan dalam Gereja Perdana, atau mengamalkan cara hidup para rasul.[211] Kegiatan ziarah juga digairahkan. Tempat-tempat ziarah lama seperti Roma, Yerusalem, dan Compostela mengalami lonjakan peziarah, dan tempat-tempat ziarah baru seperti Monte Gargano dan Bari kian dikenal orang.[255]
Pada abad ke-13, tarekat-tarekat fakir—Fransiskan dan Dominikan—yang mengikrarkan kaul kemiskinan dan menafkahi diri mereka dengan cara mengemis, mendapatkan persetujuan dari lembaga kepausan.[256] Kelompok-kelompok keagamaan seperti kaum Waldenses dan kaum Humiliati juga berusaha mengamalkan kembali cara hidup umat Kristen perdana pada pertengahan abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, tetapi dikecam sebagai gerakan bidat oleh lembaga kepausan. Kelompok-kelompok keagamaan lainnya bergabung dengan kaum Katari, gerakan bidah lain yang juga dikecam oleh lembaga kepausan. Pada 1209, sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum Katari, yakni Perang Salib Albigensian. Perang Salib ini digabungkan dengan inkuisisi Abad Pertengahan, dan berhasil memberantas kaum Katari.[257]
Mata Uang Distandarisasi
Ketika Charlemagne menaklukan Eropa Barat, ia menyadari perlunya mata uang yang terstandarisasi. Bukan koin emas, pemerintahannya memiliki mata uang berupa koin perak yang dapat digunakan di seluruh kekaisaran.
Uang ini juga dikenal sebagai mata uang bersama pertama di Eropa sejak era Romawi. Sistemnya membagi satu pon perak murni Carolingian menjadi 240 keping. Bahkan Prancis diketahui mempertahankan versi dasar mata uang ini hingga Revolusi Prancis terjadi.
Dunia usaha dan ekonomi
Migrasi dan invasi pada abad ke-4 dan abad ke-5 mengganggu jaringan niaga di sekeliling Laut Tengah. Barang-barang dagangan dari Afrika, yang tak lagi memasuki Eropa, mula-mula menghilang dari pasaran di kawasan pedalaman Eropa, dan pada abad ke-7 hanya dapat dijumpai di segelintir kota seperti Roma atau Napoli. Pada penghujung abad ke-7, sebagai akibat dari aksi-aksi penaklukan kaum Muslim, barang-barang dagangan dari Afrika tidak dapat lagi dijumpai di Eropa Barat. Penggantian barang-barang dagangan dari negeri-negeri seberang dengan barang-barang buatan negeri sendiri menjadi lazim terjadi di seluruh negeri bekas jajahan Romawi pada Awal Abad Pertengahan, terutama di negeri-negeri yang tidak terletak di pesisir Laut Tengah, misalnya kawasan utara Galia atau Britania. Barang-barang buatan luar negeri yang disebut-sebut dalam peninggalan-peninggalan tertulis biasanya adalah barang-barang mewah. Di kawasan utara benua Eropa, tidak saja jaringan niaganya yang bersifat lokal, malah barang-barang yang diperjualbelikan pun sederhana, hanya ada sedikit tembikar atau barang-barang lain yang rumit pembuatannya. Di kawasan pesisir Laut Tengah, tembikar masih mudah didapatkan dan tampaknya diperjualbelikan dalam jaringan-jaringan niaga taraf menengah, tidak sekadar dibuat sendiri di dalam negeri.[83]
Semua negara Jermanik di Eropa Barat mengeluarkan uang logam sendiri dengan meniru bentuk uang-uang logam Romawi dan Romawi Timur yang beredar kala itu. Uang emas terus-menerus dicetak sampai akhirnya tergantikan oleh uang-uang perak pada penghujung abad ke-7. Satuan dasar uang perak Franka adalah Denarius atau Denier, sementara satuan dasar uang perak Saksen-Inggris yang setara Denier disebut Penny. Dari wilayah-wilayah inilah Denier atau Penny beredar ke seluruh Eropa selama berabad-abad, sejak 700 sampai 1000 Masehi. Uang tembaga dan perunggu tidak dicetak, demikian pula uang emas, kecuali di kawasan selatan Eropa. Tidak ada pencetakan uang perak dalam pecahan-pecahan yang lebih besar daripada Denier atau Penny.[84]
Agama Kristen adalah faktor utama yang mempersatukan Eropa Timur dan Eropa Barat sebelum penaklukan-penaklukan yang dilakukan orang Arab, tetapi penaklukan Afrika Utara meretas hubungan yang terjalin antara kedua kawasan itu. Gereja Romawi Timur semakin lama semakin berbeda dari Gereja Barat dalam bidang bahasa, adat istiadat, maupun liturgi. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani, bukan bahasa Latin seperti Gereja Barat. Perbedaan-perbedaan teologi dan politik pun mengemuka, dan pada permulaan serta pertengahan abad ke-8, perkara-perkara seperti ikonoklasme, rohaniwan beristri, dan kendali negara atas Gereja semakin memperlebar kesenjangan sehingga pada akhirnya perbedaan-perbedaan budaya dan keagamaan menjadi jauh lebih besar daripada persamaan-persamaannya.[85] Perpecahan resmi, yang disebut Skisma Timur-Barat, terjadi pada 1054, manakala lembaga kepausan dan kebatrikan Konstantinopel mempertentangkan supremasi Sri Paus dan akhirnya saling mengucilkan, sehingga memecah agama Kristen menjadi dua Gereja—pecahan barat menjadi Gereja Katolik Roma dan pecahan timur menjadi Gereja Ortodoks Timur.[86]
Tatanan kepengurusan Gereja di Kekaisaran Romawi nyaris tetap utuh di tengah-tengah pergerakan dan invasi yang melanda wilayah barat, akan tetapi lembaga kepausan tidak begitu dihargai, dan hanya segelintir uskup di wilayah barat yang menghormati Uskup Roma selaku pemimpin agama atau pemimpin politik. Banyak di antara para paus yang menjabat sebelum tahun 750 lebih memperhatikan urusan-urusan Kekaisaran Romawi Timur dan sengketa-sengketa teologi di wilayah timur. Register, atau arsip salinan surat-surat, yang ditulis oleh Paus Gregorius Agung (masa kepausan 590–604) masih lestari hingga sekarang, lebih dari 850 pucuk surat, sebagian besar di antaranya berkaitan dengan perkara-perkara di Italia atau Konstantinopel. Satu-satunya negeri di Eropa Barat yang tunduk pada wibawa lembaga kepausan adalah Britania, yakni negeri yang didatangi rombongan misionaris utusan Paus Gregorius pada 597 untuk mengajak orang-orang Saksen-Inggris memeluk agama Kristen.[87] Para misionaris Irlandia gencar berdakwah di Eropa Barat antara abad ke-5 dan abad ke-7, pertama-tama di Inggris dan Skotlandia, kemudian ke daratan Eropa. Di bawah pimpinan rahib-rahib seperti Kolumba (wafat 597) dan Kolumbanus (wafat 615), para misionaris Irlandia membangun biara-biara, mengajar dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani, serta menghasilkan karya-karya tulis sekuler maupun keagamaan.[88]
Pada Awal Abad Pertengahan, terjadi pertumbuhan monastisisme di Eropa Barat. Bentuk monastisisme dipengaruhi oleh tradisi-tradisi dan gagasan-gagasan yang berasal dari Bapa-Bapa Gurun di Mesir dan Suriah. Sebagian besar biara Eropa adalah jenis biara yang mengutamakan pendalaman rohani dalam kehidupan berguyub. Monastisisme semacam ini disebut senobitisme, dirintis oleh Pakomius (wafat 348) pada abad ke-4. Cita-cita mulia monastisisme menyebar dari Mesir ke Eropa Barat pada abad ke-5 dan abad ke-6 melalui sastra hagiografi semisal Riwayat Antonius (bahasa Latin: Vita Antonii).[89] Benediktus dari Nursia (wafat 547) menyusun Peraturan Benediktus (bahasa Latin: Regulae Benedicti) bagi monastisisme Gereja Barat pada abad ke-6. Peraturan ini berisi perincian kewajiban administratif dan rohani yang harus dilaksanakan oleh suatu paguyuban para rahib yang dipimpin oleh seorang abas.[90] Para rahib dan biara-biara sangat mempengaruhi kehidupan beragama dan perpolitikan pada Awal Abad Pertengahan. Biara-biara sering kali menjadi lembaga-lembaga perwalian pemilik tanah bagi keluarga-keluarga yang memiliki kekuasaan besar, menjadi pusat-pusat propaganda dan dukungan bagi kerajaan di wilayah yang baru direbut, dan menjadi pangkalan-pangkalan bagi misi dakwah dan penyebaran agama Kristen.[91] Biara-biara merupakan lembaga utama, bahkan adakalanya merupakan satu-satunya lembaga, yang menyelenggarakan pendidikan dan pemberantasan buta aksara di suatu kawasan. Banyak dari naskah Latin klasik yang sintas sampai sekarang adalah naskah-naskah salinan yang dibuat di biara-biara pada Awal Abad Pertengahan.[92] Para rahib juga menghasilkan karya-karya tulis baru di bidang sejarah, teologi, dan bidang-bidang lain, misalnya Beda (wafat 735), pujangga asal kawasan utara Inggris yang berkarya pada penghujung abad ke-7 dan permulaan abad ke-8.[93]
Masyarakat Eropa Barat
Di Eropa Barat, sejumlah keluarga bangsawan lama Romawi mengalami kepunahan, sementara keluarga-keluarga bangsawan Romawi yang tersisa memilih untuk mendalami agama ketimbang menceburi urusan-urusan duniawi. Penghargaan yang tinggi terhadap karya tulis ilmiah dan pendidikan Romawi nyaris lenyap, dan meskipun baca tulis masih dianggap penting, kemampuan ini lebih dianggap sebagai suatu keterampilan praktis daripada sebagai lambang status mulia. Pada abad ke-4, Hieronimus (wafat 420) bermimpi ditegur Allah karena lebih sering membaca karya-karya tulis Sisero daripada Alkitab. Pada abad ke-6, Gregorius dari Tours juga bermimpi ditegur Allah, tetapi bukan karena lebih sering membaca karya-karya tulis Sisero, melainkan karena mempelajari stenografi.[63] Pada penghujung abad ke-6, sarana utama dalam pengajaran agama di Gereja adalah musik dan seni rupa, bukan lagi buku.[64] Sebagian besar karya-karya tulis ilmiah yang dihasilkan kala itu hanya berupa salinan dari karya-karya tulis ilmiah peninggalan Abad Kuno, tetapi ada pula sejumlah karya tulis baru yang dihasilkan bersama sejumlah gubahan sastra lisan yang kini tidak lagi diketahui. Karya-karya tulis Sidonius Apolinaris (wafat 489), Kasiodorus (wafat sekitar 585), dan Boëtius (wafat sekitar 525) adalah karya-karya tulis khas dari masa ini.[65]
Kehidupan rakyat jelata juga mengalami perubahan, manakala budaya kaum bangsawan lebih berpusat pada penyelenggaraan pesta-pesta pora di balai-balai perjamuan daripada berkarya di bidang sastra. Busana kaum bangsawan disarati hiasan emas permata. Para penguasa dan raja-raja mendanai rombongan-rombongan pengiring yang terdiri atas para jawara yang menjadi tulang punggung pasukan-pasukan angkatan bersenjata.[H] Ikatan kekerabatan di kalangan bangsawan sangat dijunjung tinggi, demikian pula ikatan kesetiaan, keberanian, dan kehormatan. Ikatan-ikatan ini menjadi penyebab sengketa berlarut-larut yang sering kali timbul di kalangan bangsawan, misalnya sengketa berlarut-larut di Galia pada zaman wangsa Meroving sebagaimana diriwayatkan oleh Gregorius dari Tours. Sebagian besar sengketa berlarut-larut ini diakhiri dalam waktu singkat dengan pembayaran semacam uang ganti rugi.[68] Peran utama kaum perempuan di kalangan bangsawan adalah sebagai istri dan ibu dari kaum lelaki. Peranan perempuan sebagai ibu seorang penguasa sangat dihargai di Galia pada zaman wangsa Meroving. Dalam masyarakat Saksen-Inggris, langkanya penguasa kanak-kanak menyebabkan peran perempuan sebagai ibu suri menjadi kurang menonjol, tetapi kekurangan ini diimbangi oleh peran para abdis biara yang kian lama kian menonjol. Tampaknya di Italia sajalah kaum perempuan senantiasa dianggap bernaung di bawah perlindungan dan kendali seorang kerabat laki-laki.[69]
Dibanding kaum bangsawan, hal-ihwal kehidupan rakyat jelata lebih jarang diabadikan dalam karya-karya tulis. Sebagian besar informasi mengenai rakyat jelata yang sintas sampai ke tangan para sejarawan berasal dari bidang ilmu arkeologi; segelintir peninggalan tertulis yang menggambarkan peri kehidupan rakyat jelata masih berasal dari kurun waktu sebelum abad ke-9. Sebagian besar penggambaran mengenai masyarakat kelas bawah berasal dari kitab-kitab hukum atau karya-karya tulis para pujangga dari kalangan masyarakat kelas atas.[70] Pola-pola kepemilikan tanah di Eropa Barat tidaklah seragam; di beberapa kawasan, persil-persil tanah milik letaknya sangat terserak dan saling berjauhan, sementara di kawasan-kawasan lain, sudah menjadi kaidah bahwa persil-persil tanah milik terletak berdempetan satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan bermacam-macam masyarakat jelata; beberapa di antara masyarakat-masyarakat jelata ini tunduk di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah bangsawan, sementara masyarakat-masyarakat jelata lainnya justru sangat mandiri.[71] Cara menempati tanah juga berbeda-beda. Beberapa rakyat jelata menempati permukiman-permukiman dengan jumlah warga mencapai 700 jiwa, sementara yang lain hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas beberapa keluarga; selain itu masih ada lagi yang hidup sendiri-sendiri di lahan garapan masing-masing di pinggiran desa-desa. Ada pula daerah-daerah yang memiliki pola campuran antara dua atau lebih dari tatanan-tatanan tersebut.[72] Tidak seperti pada penghujung zaman Romawi, tidak ada perbedaan yang tajam antara status hukum dari rakyat jelata yang merdeka dan kaum bangsawan, malah sebuah keluarga rakyat jelata yang merdeka mungkin saja naik status menjadi bangsawan setelah melewati beberapa generasi dengan cara mengabdi sebagai prajurit pada seorang penguasa besar.[73]
Budaya dan kehidupan perkotaan Romawi benar-benar berubah pada awal Abad pertengahan. Meskipun kota-kota Italia masih tetap dihuni orang, jumlah warganya sangat menyusut. Contohnya Roma yang jumlah warganya menyusut dari ratusan ribu jiwa menjadi sekitar 30.000 jiwa pada penghujung abad ke-6. Kuil-kuil Romawi dialihgunakan menjadi gedung-gedung Gereja, dan tembok-tembok kota masih tetap difungsikan seperti sediakala.[74] Di Eropa Utara, kota-kota juga mengalami penyusutan jumlah warga, sementara monumen-monumen dan bangunan-bangunan publik lainnya di kota-kota dijarah rayah untuk dijadikan bahan bangunan. Berdirinya kerajaan-kerajaan baru sering kali menyebabkan kota-kota yang dijadikan ibu kota mengalami sedikit banyak kemajuan.[75] Meskipun sudah sejak lama membentuk paguyuban-paguyuban di banyak kota Romawi, orang-orang Yahudi selama beberapa waktu menderita aniaya setelah Kekaisaran Romawi beralih keyakinan ke agama Kristen. Keberadaan orang-orang Yahudi secara resmi ditoleransi, jika bersedia didakwahi agama Kristen, bahkan adakalanya mereka dianjurkan untuk pindah dan menetap di daerah-daerah baru.[76]
Perluasan wilayah di bawah pimpinan Muhammad, 622–632
Perluasan wilayah pada zaman Khilafah Rasyidin, 632–661
Perluasan wilayah pada zaman Khilafah Bani Umayyah, 661–750
Agama dan kepercayaan di Kekaisaran Romawi Timur dan Persia senantiasa berubah-ubah pada penghujung abad ke-6 dan permulaan abad ke-7. Agama Yahudi adalah agama yang gencar menarik pemeluk baru, dan sekurang-kurangnya ada satu pemimpin politik Arab yang menjadi pemeluknya.[I] Agama Kristen aktif bersaing dengan agama Majusi dari Persia dalam menarik pemeluk baru, khususnya di kalangan penduduk Jazirah Arab. Semua perkembangan ini dihubungkan menjadi satu oleh kemunculan agama Islam di Arab pada masa hidup Muhammad (wafat 632).[78] Sesudah Muhammad wafat, bala tentara Muslim maju menaklukkan banyak tempat di wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Setelah mula-mula menaklukkan Negeri Syam pada 634–635, kaum Muslim kemudian menaklukkan Mesir pada 640–641, Persia antara 637–642, Afrika Utara pada abad ke-7, dan Jazirah Iberia pada 711.[79] Pada 714, bala tentara Muslim menguasai sebagian besar daratan Jazirah Iberia yang mereka namakan Al-Andalus.[80]
Aksi-aksi penaklukan kaum Muslim mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-8. Kekalahan bala tentara Muslim dalam Pertempuran Tours pada 732 memberi peluang kepada orang Franka untuk merebut kembali kawasan selatan Prancis, tetapi kendala utama yang membendung gerak langkah Islam di Eropa adalah tumbangnya Khilafah Bani Umayyah dan berkuasanya Khilafah Bani Abbas. Bani Abbas memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke kawasan Timur Tengah daripada ke Eropa, manakala kehilangan kedaulatan atas sejumlah daerah kekuasaan muslim. Keturunan Bani Umayah mengambil alih Jazirah Iberia, kaum Aglabi mendaulat Afrika Utara, dan kaum Tuluni mengangkangi Mesir.[81] Pada pertengahan abad ke-8, muncul tatanan niaga baru di Laut Tengah; hubungan niaga antara orang Franka dan orang Arab menggantikan tatanan perekonomian Romawi yang lama. Orang Franka menawarkan kayu, kulit bulu binatang, pedang, dan budak belian sebagai ganti sutra dan bahan-bahan sandang lainnya, rempah-rempah, serta logam-logam mulia dari orang Arab.[82]
Puncak Abad Pertengahan
Puncak Abad Pertengahan bermula sesudah tahun 1000 Masehi, yaitu ditandai dengan populasi Eropa yang meningkat pesat berkat munculnya inovasi-inovasi di bidang teknologi dan pertanian, yang memungkinkan berkembangnya perniagaan. Lonjakan populasi Eropa juga disebabkan oleh perubahan iklim selama periode Suhu Hangat Abad Pertengahan yang memungkinkan peningkatan hasil panen.
Ilustrasi naskah Prancis dari Abad Pertengahan yang menampilkan ketiga golongan masyarakat Abad Pertengahan: golongan yang berdoa (rohaniwan), golongan yang bertarung (kesatria), dan golongan yang bekerja (petani). Hubungan di antara ketiga golongan ini diatur menurut tatanan feodalisme dan manorialisme (Li Livres dou Sante, abad ke-13).
Ada dua tatanan kemasyarakatan yang diterapkan pada Puncak Abad Pertengahan, yakni manorialisme dan feodalisme. Manorialisme adalah penertiban rakyat jelata menjadi pemukim di desa-desa, dengan kewajiban membayar sewa lahan dan bekerja bakti bagi kaum ningrat; sementara feodalisme adalah struktur politik yang mewajibkan para kesatria dan kaum ningrat kelas bawah untuk maju berperang membela junjungan mereka sebagai ganti anugerah hak sewa atas lahan dan tanah perdikan (bahasa Inggris: manor).
Perang Salib yang mula-mula diserukan pada 1095 adalah upaya militer umat Kristen Eropa Barat untuk merebut kembali kekuasaan atas Tanah Suci dari umat Islam. Raja-raja menjadi kepala dari negara-negara bangsa yang tersentralisasi. Sistem kepemimpinan semacam ini mengurangi angka kejahatan dan kekerasan, tetapi membuat cita-cita untuk menciptakan suatu Dunia Kristen yang bersatu semakin sukar diwujudkan.
Kehidupan intelektual ditandai oleh skolastisisme, filsafat yang mengutamakan keselarasan antara iman dan akal budi, dan ditandai pula oleh pendirian universitas-universitas. Teologi Thomas Aquinas, lukisan-lukisan Giotto, puisi-puisi Dante dan Chaucer, perjalanan-perjalanan Marco Polo, dan katedral-katedral berlanggam Gothik semisal Katedral Chartres, adalah segelintir dari capaian-capaian menakjubkan pada penghujung kurun waktu Puncak Abad Pertengahan dan permulaan kurun waktu Akhir Abad Pertengahan.
Prasangka-prasangka modern
Abad Pertengahan kerap diolok-olok sebagai "zaman kebodohan dan takhayul" manakala "fatwa pemuka agama lebih dihargai daripada pengalaman dan penalaran pribadi."[327] Olok-olok semacam ini berasal dari Abad Pembaharuan dan Abad Pencerahan, manakala para ilmuwan membanding-bandingkan budaya keilmuan mereka dengan budaya keilmuan Abad Pertengahan. Para ilmuwan Abad Pembaharuan menganggap Abad Pertengahan adalah kurun waktu kemerosotan dari budaya dan peradaban tinggi dunia klasik; sementara para ilmuwan Abad Pencerahan menganggap akal budi lebih unggul daripada iman, dan oleh karena itu menganggap Abad Pertengahan sebagai zaman kebodohan dan takhayul.[13]
Sementara pihak justru beranggapan bahwa pada umumnya akal budi sangat dijunjung tinggi pada Abad Pertengahan. Sejarawan ilmu pengetahuan, Edward Grant, pernah mengemukakan dalam tulisannya bahwa "kemunculan gagasan-gagasan rasional yang revolusioner pada Abad Pencerahan hanya mungkin terjadi jika pada Abad Pertengahan sudah ada tradisi panjang yang menjadikan pemberdayaan akal budi sebagai salah satu aktivitas manusia yang terpenting".[328] Selain itu David Lindberg pernah menulis bahwa, bertentangan dengan anggapan umum, "ilmuwan Akhir Abad Pertengahan jarang sekali mendapatkan ancaman dari Gereja dan tentunya merasa leluasa (khususnya di bidang ilmu pengetahuan alam) untuk menuruti akal budi dan hasil pengamatan ke arah mana pun ia dituntun".[329]
Olok-olok terhadap Abad Pertengahan juga terungkap dalam beberapa prasangka tertentu. Salah satu kesalahpahaman mengenai Abad Pertengahan, yang pertama kali digembar-gemborkan pada abad ke-19[330] dan masih lazim dijumpai sekarang ini, adalah prasangka bahwa semua orang pada Abad Pertengahan yakin Bumi itu datar.[330] Prasangka ini keliru, karena para dosen di universitas-universitas Abad Pertengahan pada umumnya berpendapat bahwa bukti-bukti menunjukkan Bumi itu bulat.[331] Ilmuwan-ilmuwan lain dari abad ke-19, Lindberg dan Ronald Numbers, mengemukakan bahwa "nyaris tidak ada ilmuwan Kristen pada Abad Pertengahan yang tidak mengakui Bumi itu bulat, mereka bahkan sudah menghitung perkiraan panjang keliling Bumi".[332] Kesalahpahaman-kesalahpahaman lain seperti "Gereja melarang otopsi dan bedah jenazah pada Abad Pertengahan", "pertumbuhan agama Kristen mematikan ilmu pengetahuan kuno", atau "Gereja pada Abad Pertengahan menghambat perkembangan filsafat alam", semuanya dikutip oleh Ronald Numbers sebagai contoh dari mitos-mitos yang tersebar luas dan masih saja dianggap sebagai kebenaran sejarah, sekalipun tidak didukung oleh kajian sejarah mutakhir.[333]
Abad Pertengahan – Istilah Abad Pertengahan digunakan untuk membantu di dalam menjelaskan dua zaman lain, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Abad Pertengahan adalah suatu periodesasi dalam sejarah yang mendeskripsikan tentang Eropa dalam periode antara jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M hingga dimulainya era Renaissance (Abad Pembaharuan) pada abad ke-16. Tidak begitu jelas penarikan dimulainya Abad Pertengahan di Eropa ini. Beberapa sejarawan merujuk waktu terjadinya Abad Pertengahan ini dimulai pada kembali berkuasanya gereja dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terjadi sejak pemahkotaan Karel Agung oleh Paus Leo III sebagai kaisar pada tahun 800 M.
Abad Pertengahan juga dianggap sebagai sebuah periode yang panjang dalam sejarah Eropa ketika nyaris tidak mengalami perkembangan apa-apa. Bahkan dalam periode ini Eropa justru dapat dikatakan mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) sehingga masa ini juga disebut dengan zaman kegelapan.
Perlu dipahami bahwa jika dibandingkan dengan zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, manusia telah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang kebudayaan, baik dalam bidang seni arsitektur, sastra, filsafat, politik dan kenegaraan. Sedangkan pada Abad Pertengahan, itu tidak terjadi lagi karena disebabkan oleh Odoacer yang barbar dan dominannya pengaruh gereja Katolik dalam kehidupan bangsa Eropa.
Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M ditandai dengan menyerahnya Romulus Augustus ke tangan Odoacer dari bangsa Germanik, hal ini mengakibatkan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi Kuno tidak berkembang karena suku bangsa Germanik tidak begitu menaruh minat dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 800 M, kondisi politik Eropa mulai mengalami perubahan. Gereja Katolik mulai tampil sebagai penguasa yang dominan, baik dalam kehidupan politik maupun keagamaan. Pada tahun itu pula, Paus Leo III memahkotai Charlemagne (Karel Agung) sebagai kaisar. Di bawah Karel Agung pula, Eropa disatukan di bawah satu kekaisaran besar yang disebut dengan Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire).
Selain mengemban tugas politik, Kaisar Romawi Suci juga memiliki tugas misi keagamaan, yaitu melindungi agama Katolik dan menjamin penyebarannya ke seluruh Eropa. Di dalam konteks itu, setiap kaisar harus taat pada keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Paus. Setiap kaisar di dalam lingkup Kekaisaran Romawi Suci tidak sah menjadi kaisar jika tidak mendapatkan persetujuan dan pemahkotaan oleh Paus.
Potensi yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno yang umumnya terekspresikan melalui karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan terhenti selama Abad Pertengahan. Pada masa ini, ketaatan kepada wahyu Tuhan melalui kitab suci jauh lebih penting daripada mengejar keinginan-keinginan dan ambisi yang bersifat duniawi.
Mengejar surga atau akhirat jauh lebih penting daripada mewujudkan secara maksimal potensi diri setiap individu lewat kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia. Manusia dianggap hanya sekedar peziarah dunia (viat mundi). Seluruh perhatian dan kegiatan gereja diarahkan hanya untuk kepentingan akhirat. Kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang begitu kuat, sehingga sikap taat kepada gereja yang ditunjukkan masyarakat kepada para pejabat gereja lainnya, diidentikkan dengan ketaatan kepada Tuhan.
Dengan kekuasaan besar seperti itu, sangatlah mudah bagi para pemimpin gereja berkesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengatasnamakan firman Tuhan atau kehendak Tuhan. Paus dalam hal ini juga selain sebagai pemimpin agama, merangkap pula sebagai pemimpin politik serta penguasa atas raja-raja di Eropa.
Abad Pertengahan merupakan masa di mana kekuasaan gereja banyak diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja.
Retaknya Kekaisaran Karoling
Karel Agung berniat meneruskan adat waris Franka dengan membagi wilayah kerajaannya kepada seluruh ahli warisnya, akan tetapi niatnya itu tidak terkabul karena hanya tinggal Ludwig Saleh (memerintah 814–840) yang masih hidup pada 813. Sebelum mangkat pada 814, Karel Agung menobatkan Ludwig menjadi penggantinya. Masa pemerintahan Ludwig sepanjang 26 tahun ditandai beberapa kali pembagi-bagian wilayah Kekaisaran Karoling di antara putra-putranya dan, setelah 829, pecah beberapa kali perang saudara memperebutkan kekuasaan atas berbagai bagian wilayah Kekaisaran Karoling. Selama berlangsungnya perang-perang saudara ini, Ludwig bersekutu dengan salah seorang putranya untuk melawan putranya yang lain. Ludwig akhirnya mengakui putra sulungnya yang bernama Lothar I (wafat 855) sebagai kaisar dan menyerahkan wilayah Italia kepadanya. Ludwig membagi wilayah kekaisaran selebihnya kepada Lothar dan Karel Gundul (wafat 877), putra bungsunya. Lothar menguasai Negeri Franka Timur yang terletak di kedua tepi Sungai Rhein dan membentang sampai ke sebelah timur, sementara Karel menguasai Negeri Franka Barat beserta wilayah kekaisaran di sebelah barat daerah Rheinland dan Pegunungan Alpen. Ludwig Jerman (wafat 876), anak tengah Karel yang tak kunjung jera memberontak, diizinkan menguasai daerah Bayern di bawah suzerenitas abangnya. Pembagian wilayah ini malah menimbulkan pertikaian. Cucu kaisar yang bernama Pipin II dari Aquitania (wafat sesudah 864), bangkit memberontak hendak mengusai Aquitania, sementara Ludwig Jerman berusaha menguasai seluruh Negeri Franka Timur. Ludwig Saleh mangkat pada 840, meninggalkan Kekaisaran Karoling dalam keadaan kacau balau.[109]
Perang saudara selama tiga tahun pun berkecamuk setelah Ludwig Saleh mangkat. Dengan Perjanjian Verdun (843), diciptakan sebuah kerajaan baru bagi Lothar yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai Rhone sebagai tambahan bagi wilayah Italia yang dikuasainya. Selain itu, Lothar juga diakui sebagai Kaisar. Ludwig Jerman menguasai Bayern dan daerah-daerah di kawasan timur Negeri Franka yang sekarang termasuk dalam wilayah negara Jerman. Karel Gundul mendapatkan daerah-daerah di kawasan barat Negeri Franka yang meliputi hampir seluruh wilayah negara Prancis sekarang ini.[109] Cucu-cucu dan cicit-cicit Karel Agung membagi-bagi lagi wilayah kerajaan-kerajaan mereka kepada anak cucu mereka, sehingga keutuhan wilayah Kekaisaran Karoling pada akhirnya sirna.[110][M] Pada 987, wangsa Karoling tersingkir dari tampuk kekuasaan di Negeri Franka Barat, manakala Hugo Capet (memerintah 987–996) dinobatkan menjadi raja.[N][O] Di Negeri Franka Timur, wangsa Karoling telah punah manakala Raja Ludwig Bocah mangkat pada 911,[113] dan Konrad I (memerintah 911–918), yang tidak memiliki pertalian apa-apa dengan wangsa Karoling, terpilih menjadi raja.[114]
Perpecahan Kekaisaran Karoling terjadi bersamaan dengan invasi, migrasi, dan penyerangan oleh seteru dari luar. Kawasan pantai Samudra Atlantik dan pesisir utara dirongrong oleh orang Viking, yang juga menyerbu serta mendiami Kepulauan Britania dan Islandia. Pada 911, Kepala Suku Viking yang bernama Rollo (wafat sekitar 931) mendapatkan izin dari Raja Orang Franka, Karel Polos (memerintah 898–922) untuk bermukim di daerah yang kini bernama Normandie di negara Prancis.[115][P] Kawasan timur Negeri Franka, khususnya Jerman dan Italia, terus-menerus dirongrong oleh orang Magyar yang baru dapat dikalahkan dalam Pertempuran Lechfeld pada 955.[117] Perpecahan Khilafah Bani Abbas mengakibatkan Dunia Islam terpecah-belah menjadi banyak negara kecil, beberapa di antaranya mulai berusaha meluaskan wilayah kedaulatan sampai ke Italia, Sisilia, dan melewati Pegunungan Pirenia sampai ke kawasan selatan Negeri Franka.[118]