Hukum Menerima Uang dan Nafkah Hasil Judi
Para pembaca Bimbinganislam.com yang mencintai Allah ta’ala berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum menerima uang dan nafkah hasil judi. selamat membaca.
بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Semoga ustadz dan admin serta kita semua dijaga Allah.
Bagaimana hukum menerima sesuatu dari harta yang diperoleh dari perjudian ustadz?
Jazaakumullah khoiron
(Disampaikan oleh Fulan dari Sukoharjo, Member grup WA BiAS)
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Hukumnya tidak boleh, karena status harta itu menjadi harta haram ada dua penyebabnya :
Sebenarnya dzat dari harta ini halal akan tetapi karena diperoleh dengan cara haram maka ia menjadi haram.
Maka dari itu sebisa mungkin kita menghindar dari jenis harta yang didapatkan dengan cara haram. Kecuali jika seseorang menjadi istri atau anak-anak dalam sebuah rumah tangga, tidak mampu bekerja dan tidak ada yang menafkahi dia melainkan suaminya dengan menggunakan harta hasil perjudian maka ia mengambil sesuai kadar kebutuhan.
Dengan tetap menasehati suami agar meninggalkan perbuatan maksiat tersebut serta mencari jenis pekerjaan lain yang halal. Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah :
لا يجوز للأب أن يربِّي أولاده على كسبٍ حرام ، وهذا معلوم عند السائل ، وأما الأولاد : فلا ذنب لهم في ذلك ، وإنما الذنب على أبيهم
“Tidak boleh bagi seorang ayah untuk mendidik anak-anaknya dengan penghasilan yang haram, dan ini satu hal yang sudah dimaklumi oleh penanya. Adapun anak-anak maka mereka tidak menaggung dosa dalam masalah ini akan tetapi dosanya ditanggung oleh ayah mereka.” (Fatawa Lajnah Daimah : 26/332).
Semoga bermanfaat, Wallahu ta’ala a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh : Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله Ahad, 05 Sya’ban 1441 H/ 29 Maret 2020 M
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati, BA. Dewan konsultasi Bimbingan Islam (BIAS), alumni MEDIU, dai asal klaten Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله klik disini
Diasuh Oleh Tgk Alizar Usman*)
Assalamualaikum waramatullahi wabarakatuh.
Yth, Ustaz pengasuh rubrik Kajian Kitab Kuning di Serambinews.com.
Menjelang Pemilu 2024, saya sering mendengar orang berkata boleh mengambil uang yang diberikan oleh calon anggota legislatif (caleg) atau oleh calon kepala daerah.
Bahkan ada beberapa spanduk yang kira-kira bunyinya begini: “Peng tacok, ureung bek tapileh. Caleg beu pungo (Uang diambil, orangnya jangan dipilih. Biar calegnya menjadi gila).
Pertanyaannya? Apa hukumnya mengambil uang yang diberikan oleh caleg? Bolehkan seorang muslim mengambil uang yang diberikan oleh caleg yang mengharapkan kita akan memilihnya, tapi kemudian kita tidak memilihnya?
Terima kasih Ustaz. Semoga Ustaz selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin
Wa’alaikumussalam waramatullahi wabarakatuh.
Pertanyaan seperti sebenarnya sering muncul dalam berbagai forum, baik forum resmi maupun tidak resmi seperti selagi bincang-bincang di kafe sambil ngopi.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sangat mungkin bagi semua kalangan masyarakat untuk ikut serta andil, bahkan menjadi pemain, dalam pencalonan diri menjadi legislatif ataupun pemimpin pemerintahan.
Banyak dari lapisan masyarakat yang sebelumnya fokus dalam dunia nonpolitik, kini berpindah masuk dalam percaturan politik dan bergelut memperebutkan kursi kekuasaan.
Dari pengamatan kita di Indonesia, dalam memperoleh suara rakyat, banyak cara yang ditempuh oleh calon legislatif ataupun calon pemimpin.
Sebagian calon ada yang hanya mengandalkan ketenaran di dunia nonpolitik, atau calon yang tidak memiliki ketenaran sama sekali, namun dengan modal finansial yang besar.
Kekuatan finansial tersebut yang kemudian digunakannya sebagai sarana meraih suara mayoritas.
Mereka dengan sangat piawai dalam menutupi money politics yang mereka lancarkan; mulai dari yang berwujud sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, hingga yang dibungkus rapi dalam bentuk hadiah dan pemberian secara individual.
Sehingga, suap (risywah) sudah tidak lagi dilakukan di bawah meja kekuasaan, namun dengan menu dan aroma yang baru.
Menanggapi fenomena semacam ini, beberapa abad yang lalu Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa risywah (sogok) merupakan tindakan yang tidak terpuji. Dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ
Rasulullah SAW melaknat penyogok dan penerima sogok (H.R. Abu Daud dan lainnya)
Al-Turmidzi menyatakan hadits ini hasan dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).
Dalam mengomentari kandungan hadits ini, Zakariya al-Anshariy menjelaskan kepada kita,
وفيه تحريم الرشوة على القاضي وغيره من الولاة لأنها ترفع إليه ليحكم بحق أو ليمتنع من ظلم وكلاهما واجب عليه فلا يجوز أخذ العوض عليه وأما دافعها وهو الراشي فإن توصل بها إلى باطل فحرام عليه، وإن توصل بها إلى تحصيل حق أو دفع ظلم فليس بحرام، ويختلف الحال في جوازه واستحبابه ووجوبه باختلاف المواضع
Dalam hadits memberi petunjuk haram menyogok qadhi dan pemangku kewenangan lainnya. Karena seseorang membuat laporan kepadanya agar mendapat hukum yang haq atau mencegah dari sebuah kedhaliman. Keduanya merupakan kewajibannya. Karena itu tidak boleh mengambil imbalan atas pekerjaannya itu. Adapun pemberinya yaitu penyogok apabila menjadikan sogokan tersebut sebagai perantaraan kepada suatu yang batil, maka hukumnya haram. Adapun apabila sogokannya itu sebagai perantaraan untuk mendapatkan haknya atau menolak kedhaliman, maka ini tidak haram. Terkait dalam hal boleh, anjuran atau wajib, ini tergantung perbedaan kondisinya. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakariya al-Anshari menegaskankan dalam Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:
قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ
Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, jika diberikan harta untuk tujuan mendatang (akhirat), maka dinamakan sadaqah atau untuk tujuan segera (imbalan dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyarthi al-tsawab (hibah dengan syarat imbalan). Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an (fardhu ‘ain) maka dinamakan risywah.(Asnaa al-Mathaalib, karya Zakaria al-Anshari: IV/300)
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam fatwanya No. 03 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Menurut Perspektif Islam dalam fatwa point kedua disebutkan: “Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan menjalankan fardhu ‘ain seperti shalat, dan lain-lain adalah hukumnya wajib.”
Kemudian dalam point kelima disebutkan: “Politik Uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat tertentu hukumnya adalah haram.”
Dan juga point keenam ada pemjelasan berikut ini: “Pemberian sesuatu baik langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan politik adalah perilaku yang tidak terpuji, baik yang memberi atau yang menerima.”
Keterangan-keterangan di atas memberi pemahaman kepada kita sebagai berikut:
1. Pemangku kewenangan yang diberikan oleh pemerintah seperti qadhi dan lainnya wajib menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan wajib menolak kedhaliman
2. Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT hukumnya wajib
3. Kewajiban menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan menolak kedhaliman tersebut menjadi alasan hukum haram menerima imbalan apapun dari pihak yang tidak berwenang memberinya. Ini dapat dikatagorikan sebagai risywah yang diharamkan.
4. Namun demikian, apabila sipemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi serta tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima
Sesuai dengan uraian di atas, jika kita terapkan untuk penomena yang sudah kita paparkan di awal tulisan ini, yaitu penomena sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan dan lainnya ataupun pemberian secara individual dalam rangka mengubah pilihan si penerima dalam pemilihan legislatif maupun pemilhan calon pemimpin, maka tindakan tersebut merupakan risywah yang diharamkan baik dari sisi pemberi maupun penerimanya.
Kesimpulan ini berdasarkan pemahaman kita berikut ini:
1. Risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu sebagaimana penjelasan pengarang kitab Asnaa al-Mathalib di atas.
Pemilih calon legislatif dan pemilih calon pemimpin merupakan individu yang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam memilih.
Karena itu, individu pemilih dalam hal ini sama hukumnya seperti qadhi dan pemangku kewenangan lainnya.
2. Pemilih wajib memilih calon legislatif dan calon pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya.
Karena itu, apabila menerima imbalan harta dari pihak calon legislatif atau calon pemimpin apakah itu mengubah pilihannya ataupun tidak, hukumnya haram, karena pemilih wajib memilih sesuai keyakinannya meskipun tanpa imbalan apa-apapun.
Ini akan bertambah haram lagi apabila si pemilih mempunyai niat menipu dengan jalan menerima uang tetapi pilihannya tidak berubah sesuai keinginan si pemberi.
(Ini menjadi jawaban pertanyaan di atas, “Apa hukumnya mengambil uang yang diberikan oleh caleg? Bolehkah seorang muslim mengambil uang yang diberikan oleh caleg yang mengharapkan kita akan memilihnya, tapi kemudian kita tidak memilihnya?”)
3. Apabila pemberian tersebut bertujuan melakukan suatu perbuatan yang diharamkan berupa upaya mengubah pilihan masyarakat dalam memilih pemimpin atau wakilnya dalam pemerintahan dengan jalan pemberian imbalan sejumlah harta.
Ini merupakan tindakan kedhaliman merebut hak orang lain tanpa haq yang diharamkan, baik dari sisi pemberi maupun penerima.
4. Namun demikian, apabila si pemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi dan tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah.
Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima.
Wallahua’lam bisshawab
*) Salah satu tugas mulia bagi Muslim adalah menjadi penerus risalah kenabian, yakni mensyiarkan Agama Islam dalam berbagai bentuk media.
Serambi Indonesia menyambut baik kerjasama Bidang Dakwah bil Qalam dan Lisan (video) dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.
Dakwah melalui tulisan diasuh oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag, M.Hum, alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Alumni Dayah Istiqamatuddin Darul Muarrif, Lam Ateuk.
Adapun dakwah melalui visual diisi oleh keluarga besar DPP ISAD Aceh.
Dakwah di media besar melalui Serambi Indonesia jangkauannya lebih luas. Dapat dibaca kapan saja dan di mana saja sehingga konten dakwah bisa didapat lebih fleksibel.
Temukan solusi berbagai persoalan ummat di SINI
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Bagaimana hukum menerima pemberian dari caleg? (Setyo, Depok).
Para ulama kontemporer telah sepakat mengenai haramnya memberi atau menerima pemberian dalam rangka pemilu (al intikhabat), baik pemilu legislatif (al intikhabat al barlamaniyyah) maupun pemilu presiden (al intikhabat ar ri`asiyyah). Para ulama tersebut hanya berbeda pendapat dalam hal alasan keharamannya.
Sebagian ulama seperti Dr. Thal’at Afifi, juga ulama Lembaga Al Azhar (Mu`assasah Al Azhar), dan ulama Darul Ifta` Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan dengan alasan pemberian itu dianggap termasuk risywah (suap). Sedang sebagian ulama lainnya seperti Prof. Dr. Ali As Salus mengharamkan karena pemberian itu dianggap pengkhianatan terhadap syahadah (kesaksian) yang diberikan pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. (Fahad bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan, Al Intikhabat wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 418; www.manaratweb.com).
Menurut kami, hukumnya secara syar’i memang haram, baik memberi atau menerima pemberian, namun alasan keharamannya yang lebih tepat adalah karena risywah (suap), bukan karena pengkhianatan syahadah (kesaksian).
Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg (atau capres) kepada para pemilih. Pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap (risywah), yaitu setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 22/219).
Dalil-dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadits dari Abdulllah bin ‘Amr RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Juga hadits dari Tsauban RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad).
Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dua hadits di atas dengan berkata,”Hadits-hadits ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut yang batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapatkan manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah A Islamiyyah, 2/332).
Berdasarkan keumuman dalil haramnya suap ini, maka haram hukumnya pemberian caleg, baik bagi pihak yang memberi (caleg) maupun bagi pihak yang menerima (pemilih). Terlebih lagi, suap yang diberikan ini adalah suap untuk menuntut yang batil. Karena dalam sistem demokrasi saat ini seorang anggota legislatif akan melakukan kebatilan di parlemen, yaitu menjalankan tugas legislasi dengan menyusun UU yang bukan Syariah Islam.
Adapun tidak tepatnya alasan haramnya pemberian caleg karena dianggap pengkhianatan syahadah (kesaksian), karena syahadah itu secara syar’i hanya diberikan dalam sidang peradilan (majelis al qadha`), bukan di luar sidang pengadilan seperti di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Syaikh Ahmad Ad Da’ur dalam kitabnya Ahkamul Bayyinat menjelaskan definisi kesaksian (syahadah) sebagai pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan redaksi persaksian yang dilakukan di majelis peradilan. (Ahmad Ad Da’ur, Ahkamul Bayyinat, hlm.6).
Kesimpulannya, haram hukumnya seorang caleg memberi pemberian, sebagaimana haram pula hukumnya seorang muslim menerima pemberian itu, baik berupa uang maupun barang. Sama saja apakah diberikan dalam rangka kampanye, maupun diberikan secara terselubung tetapi ada indikasi kuat terkait kampanye, misalnya memberikan hadiah saat pengajian atau berinfak membantu pembangunan masjid menjelang waktu pemilu. Wallahu a’lam.
Arina.id ~ Guna mendulang suara pemilih, ada berbagai strategi yang digunakan para calon pemimpin yang turut dalam kontestasi politik elektoral. Mulai dari mengaktifkan jaringan sosial, struktur partai politik, atau membangun popularitas melalui media. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa potensi keterpilihan harus juga didukung modal finansial dengan jumlah besar.
Besarnya modal finansial tentunya digunakan sebagai sarana meraih suara dukungan. Sehingga, mudah sekali kita temui ketika mendekati hari pemilihan sebagai besar caleg, kader, maupun simpatisan partai getol membagi-bagikan uang, kaos, sembako dan lain sebagainya kepada masyarakat. Lantas bagaimanakah hukum memberi dan menerima uang ataupun kaos tersebut dalam tinjauan syariat?
Menanggapi fenomena demikian, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) menjelaskan bahwa pada dasarnya unsur pemberian yang diberikan oleh seseorang tidak akan terlepas dari suatu motif atau tujuan. Diantaranya ialah pemberian yang bertujuan untuk memikat hati, akan tetapi di balik itu terdapat tujuan lain yang ingin dicapai yakni jalan untuk memuluskan tujuannya:
اَلْخَامِسُ أَنْ يَطْلَبَ التَّقَرُّبَ إِلَى قَلْبِهِ وَتَحْصِيْلُ مَحَبَّتِهِ لاَ لِمَحَبَّتِهِ وَلاَ لِلأَنْسِ بِهِ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُ أَنْسٌ فَقَطْ بَلْ لِيَتَوَصَّلَ بِجَاهِهِ إِلَى أَغْرَاضٍ لَهُ يَنْحَصِرُ جِنْسُهَا وَاِنْ لَمْ يَنْحَصِرْ عَيْنُهَا وَكَانَ لَوْلاَ جَاهُهُ وَحَشْمَتُهُ لَكَانَ لاَ يَهْدِيْ إِلَيْهِ فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ لأَجْلِ عِلْمٍ أَوْ نَسَبٍ فَالأَمْرُ فِيْهِ أَخَفُّ وَأَخْذُهُ مَكْرُوْهٌ فَإِنَّ فِيْهِ مُشَابَهَةُ الرِّشْوَةِ وَلَكِنَّهَا هَدِيَّةً فِي ظَاهِرِهَا، فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ بِوِلايَةٍ تَوَلاَهَا مِنْ قَضَاءٍ أَوْ عَمَلٍ أَوْ وِلاَيَةِ صَدَقَةٍ أَوْ جِبَايَةِ مَالٍ أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ السُّلْطَانِيَّةِ حَتَّى وِلايَةَ الأَوْقَافِ مَثَلًا وَكَانَ لَوْلاَ تِلْكَ الْوِلايَةُ لَكَانَ لاَ يَهْدِيْ إِلَيْهِ فَهَذِهِ رِشْوَةٌ عُرِضَتْ فِيْ مَعْرَضِ الْهَدِيَّةِ إِذِ الْقَصْدُ بِهَا فِىْ الْحَالِ طَلَبُ التَّقَرُّبِ وَاكْتِسَابِ الْمَحَبَّةِ
Artinya: “Kelima, pemberian yang bertujuan untuk memikat hati namun di balik itu ada tujuan lain yang ingin dicapai melalui status penerimanya. Dimana status tersebut merupakan jalan untuk memuluskan tujuannya. Pemberian semacam ini perlu dipilah, jika status tersebut terkait keilmuan atau kasta keturunan maka menerima pemberian itu hukumnya makruh. Sebab, kendati bukan termasuk suap, namun memiliki unsur kemiripan meski yang tampak berupa hadiah. Apabila status tersebut berkenaan dengan kekuasaan atau jabatan kenegaraan, yaitu bila jabatan tersebut tidak dimiliki niscaya dia tetap akan menerima pemberiannya, maka hukum menerima pemberian semacam ini dikategorikan sebagai suap dengan kedok hadiah, sebab tujuannya ialah agar dekat dan menarik simpati.” (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol. 2, h. 155).
Merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, maka jika memang pemberian tersebut diberikan hanya sekadar untuk menarik simpati masyarakat, maka hukumnya diperbolehkan. Dan bagi penerima boleh menerimanya, namun hukumnya makruh.
Kendati demikian, jika tujuannya agar dipilih dan terdapat perjanjian yang bersifat mengikat maka termasuk kategori suap (risywah). Dan hukumnya tidak diperbolehkan untuk memberikan serta menerimanya sebab termasuk membantu tindakan maksiat (i’anah ala maksiat).
Larangan praktik suap-menyuap itu disinggung dalam salah satu redaksi hadis yang berbunyi:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
Artinya: “Allah Swt. melaknat pemberi suap dan yang menerima suap dalam hukum.” (H.R. Ahmad)
Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1316 H), suap atau risywah didefinisikan dengan memberikan sesuatu yang diperuntukkan bagi seorang hakim (qadhi) agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar:
وَقَبُوْلُ الرِّشْوَةِ حَرَامٌ وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لِلْقَاضِيْ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنَ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ وَإِعْطَاؤُهَا كَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَّةٍ أَمَّا لَوْ رَشِيَ لِيَحْكُمَ بِالْحَقِّ جَازَ الدَّفْعُ وَإِنْ كَانَ يَحْرُمُ عَلَى الْقَاضِيٍ الْأَخْذُ عَلَى الْحُكْمِ مُطْلَقًا
Artinya: “Menerima suap haram hukumnya. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada qadhi agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar. Memberi suap juga diharamkan sebab termasuk membantu terjadinya maksiat. Adapun bilamana menyuap dalam rangka menetapkan hukum yang benar maka di perbolehkan untuk memberikannya, meski tetap diharamkan bagi qadhi untuk mengambilnya berdasarkan keputusan hukum yang ia tetapkan secara mutlak.” (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al-Mubtadiin [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 370)
Adapun mengenai perbedaan istilah suap (risywah) dan hadiah, Imam Ar-Rafi’i (wafat 623 H) memaparkan dalam kitab Syarh Al-Kabir:
وَإِذَا عَرَفْنَا أَنَّ قَوْلَ الرِّشْوَةِ حَرَامًا مُطْلَقًا وَقَبُوْلَ الْهَدِيَّةِ جَائِزٌ فِى بَعْضِ الأَحْوَالِ طَلَبْتُ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا وَقُلْتُ بَاذِلُ الْمَالِ رَاضٍ فِيْهِمَا جَمِيْعًا تُمُيِّزَ بَيْنَهُمَا وَالَّذِي وَجَدْتُهُ فىِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا شَيْئَانِ أَحَدُهُمَا فِى كَلامِ الْقَاضِي اِبْنِ كَجٍ أَنَّ الرِّشْوَةَ هِيَ الَّتِى يُشْتَرَطُ عَلَى بَاذِلِهَا الْحُكْمُ بِغَيْرِ الْحَقِّ اَوِ الإِمْتِنَاعِ عَنِ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ وَالْهَدِيَّةُ هِىَ الْعَطِيَّةُ الْمُطْلَقَةُ وَالثَّانِي قَالَ الْمُصَنِّفُ فِى الإِحْيَاءِ الْمَالُ إِمَّا أَنْ يُبْذَلَ لِغَرْضٍ آجِلٍ أَوْ عَمَلٍ... وَأَمَّا التَّقَرُّبُ وَالتَّوَدُّدُ إِلَى الْهَدِيَّةِ إِلَيْهِ وَذَلِكَ إِمَّا أَنْ يَطْلُبَ لِنَفْسِهِ فَهُوَ هَدِيَّةٌ أَوْ يَتَوَسَّلً بِجَاهِهِ إِلَى أَغْرِاضٍ وَمَقَاصِدَ فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ الْعِلْمَ أَوْ بِالنَّسَبِ فَهُوَ هَدِيَّةٌ وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ وَالْعَمَلِ فَهُوَ رِشْوَةٌ
Artinya: “Telah dijelaskan bahwa suap hukumnya haram secara mutlak sedangkan hadiah diperbolehkan dalam sebagian kondisi. Dari sini perlu dibedakan antara suap dan hadiah. Perbedaan keduanya ditinjau dari dua sisi: Pertama, dikatakan oleh Ibn Kajin bahwa suap adalah pemberian yang disyaratkan dalam penerimaannya untuk menetapkan hukum yang tidak benar atau pemberi terbebas dari tuntutan hukum yang benar. Sedangkan hadiah adalah pemberian semata. Kedua, dikatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya harta-benda adakalanya diberikan untuk tujuan jangka panjang, dan adakalanya diberikan untuk tujuan jangka pendek… Adakalanya harta-benda diberikan untuk mendekati atau meraih simpati dari orang yang diberi. Bila hal itu sebatas kedekatan pribadi maka disebut hadiah. Bila dimanfaatkan untuk meraih tujuan tertentu lewat kedudukan orang yang diberi lantaran ilmu atau nasabnya maka disebut hadiah, dan apabila dimanfaatkan lewat orang yang menyandang kedudukan sebagai hakim ataupun pejabat maka disebut suap.” (Abdul Karim bin Muhammad Abu Al-Qasim Ar-Rafi’i, Al-Aziz Syarh Al-Wajiz [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiah], vol. 12, h. 468).
Berdasarkan referensi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum memberi serta menerima pemberian caleg dalam bentuk apa pun baik berupa uang, kaos, sembako dan hal lainnya diperinci sebagai berikut:
Demikian penjelasan mengenai hukum memberi dan menerima sesuatu dari para kontestan politik. Wallahu’alam Bisshawab.
Lebih lanjut Buya Yahya mempertanyakan sumber uang yang digunakan dalam praktik money politic. Menurutnya, umat harus jeli jangan asal terima uang dari timses.
“Mungkin dia orang terkaya di negeri ini. Duitnya sendiri mungkin yang dibagi-bagi. Kalau duit pinjaman, misalnya, kita tidak tahu nggak boleh suudzon juga. Artinya kemungkinan pahit itu harus kita hadirkan supaya kita tidak gampang nerima,” ujarnya.
Namun, yang dikhawatirkan Buya Yahya adalah uang dari hasil janji-janji dengan pengusaha, sehingga nanti jika terpilih akan lebih mementingkan pengusaha tersebut.
“Nah, setelah jadi bagaimana dia akan menyejahterakan rakyat sementara dia sendiri punya kewajiban untuk mengembalikan (dana) karena dia nggak punya duit, tapi kok bisa bagi-bagi duit kan aneh,” tuturnya.
“Jadi banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjadikan kita jerumuskan dia. Kalau memang kita percaya dia orang baik, kita katakan, pak cukup gak usah Anda keluarkan uang karena aku tahu kamu orang baik dan kamu tidak punya duit. Maka gak usah bagi-bagi. Karena kamu baik kamu maka saya akan pilih,” Buya Yahya menambahkan.
Menurut Buya Yahya, timses caleg atau capres yang yang bagi-bagi uang harus diwaspadai. “Jangan-jangan duit saya nanti itu akan diambil dari saya di ke depan hari dengan bermacam-macam upaya. Harus curiga dengan yang suka bagi-bagi yang demikian itu,” katanya.
Assalamualaikum Ustadz, saya mau bertanya, kebetulan saya mempunyai usaha perdagangan, dan kebetulan mempunyai seorang pelanggan yang termasuk pembeli yang paling banyak belanja ditempat saya. Tetapi belakangan menurut berita yang beredar, baru saya ketahui kalau beliau adalah pengusaha yang memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan yang haram,, Pertanyaan saya adalah apabila pelanggan tersebut belanja di tempat saya menggunakan uang yang diperoleh dari pekerjaan/usaha yang haram, yang mana uang tersebut adalah uang haram, apakah uang tersebut hukumnya haram bagi saya, padahal uang tersebut untuk pembayaran barang yang saya jual? Terimakasih. Wa alaikumus salam wr wb. Para ulama berbeda pendapat pendapat tentang status menerima unag haram yang memang sudah diapstikan keharamannya. Yang dimaksud sudah dipastikan keharamannya adalah bahwa uang tersebut didapat dari cara yang tidak halal. Misalnya menerima uang hasil curian yang memang kita tahu secara pasti bahwa uang itu hasil curian. Sedangkan jika baru sebatas dugaan atau rumor, statusnya belum jelas. Karena belum jelas, fiqh menghukuminya secara zahir, bahwa uang itu adalah uang bersih atau bukan didapatkan dari cara yang haram. Mengenai uang yang sudah dipastikan keharamannya, para Ulama berbeda pendapat;